Allah Taala yang Maha
Tinggi dan Maha Besar berfirman: Artinya:"Hai orang-orang yang beriman,
jagalah dirimu; tiada orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu
apabila kamu telah mendapat petunjuk". ( Q.S: 5;105 ),
Ayat ini tidak bermakna larangan atau perintah
untuk meninggalkan amar maruf (kebaikan) dan nahi mungkar (kejelekan),
sebagaimana yang terdapat dalam hadits masyhur di Kutubus Sunan, dari Abu Bakr
As-Shidiq, (Ia) berkhutbah di atas mimbar Rasulullah saw dan berkata : "
Wahai manusia sesungguhnya kalian membaca ayat ini dan menerapkannya bukan pada
tempatnya, sungguh saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda :
Artinya : " Sesungguhnya
manusia apabila melihat kemungkaran, kemudian tidak merubahnya, maka
hampir-hampir Allah menimpakan azab dari-Nya kepada mereka semua".
(H.R. Ahmad dimusnadnya dari Abi Bakr, dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani di
kitab Shohih Al Jami , no: 1974, juz; 1/ 398.)
Dan demikian juga dalam hadits Abi Tsalabah
Al-Khusyani yang marfu (yang sampai ke Rasulullah ) dalam menafsirkan ayat ini
:
Artinya:" Apabila kamu melihat kebakhilan
yang ditaati, dan hawa nafsu yang dituruti, dan setiap orang yang memiliki
pendapat taajub dengan pendapatnya,maka uruslah (sibuklah) dengan kepentingan
dirimu sendiri" ( H.R. Tirmizi dari Abi salabah Al Khusyani, no 3058 ).
Hadits ini ditafsirkan oleh hadits Abi Said di kitab
Muslim :
Artinya: "Barang siapa dari kalian melihat
kemungkaran maka hendaklah dia merubah kemungkaran tersebut dengan tangannya,
apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan lisannya, apabila tidak sanggup,
(rubahlah) dengan hatinya, yang demikian adalah selemah-lemah keimanan ".
(H.R. Muslim dan lainnya dari Abi Said Al Khudri.)
Dan apabila ahli fujur (pelaku maksiat) kuat,
sehingga mereka tidak lagi mau mendengarkan kebaikan, bahkan mereka menyakiti
orang yang melarang kemungkaran, karena mereka itu telah dikuasai oleh rasa
kikir dan hawa nafsu serta rasa sombong, maka pada keadaan seperti ini, merubah
dengan lisanpun gugur dan yang tinggal merubah dengan hati.(assyuhhu) adalah
rasa sangat ambisi yang mengakibatkan kepada kebakhilan dan kezoliman, yaitu
menolak kebaikan dan membencinya. (alhawa al muttaba) hawa nafsu yang dituruti
terwujud dalam keinginan terhadap keburukan dan mencintainya. (al ijab bir
rayi) takjub (bangga) dengan pendapat sendiri yaitu (bangga) pada akal dan
ilmu.
Maka (pada hadits di atas) Beliau saw telah
menyebutkan rusak tiga kekuatan yaitu : ilmu, cinta dan benci. Sebagaimana
dalam hadits lain : Artinya : " Tiga hal yang mencelakakan; rasa kikir
yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti dan rasa takjub seseorang dengan dirinya
sendiri" dan di hadapan tiga hal yang mencelakakan ini, terdapat tiga hal
yang menyelamatkan :
Artinya: " Rasa takut kepada Allah dalam
keadaan sunyi dan keramaian, dan sikap sederhana di waktu miskin dan kaya dan
berkata benar di waktu marah dan ridho " ( H.R. Tharoni di Mujam Ausath
dari Anas dan dihasankan oleh Syeikh Al Albani di kitab Shohih Al-Jami, no :
3039, juz ; 1/ 583 )
Itulah yang selalu dimohon Rasulullah r dalam
doanya, seperti pada hadits lain : Artinya : " Ya Allah, sesungguhnya saya
memohon kepada-Mu rasa takutan akan diri-Mu di waktu sunyi dan keramaian, dan
saya memohon kepada-Mu untuk (mampu) berkata benar di waktu marah dan ridho,
dan saya memohon kepada-Mu untuk sikap sederhana di waktu miskin dan kaya"
( H.R. Nasai dari Amar bin Yasir, no: 1304 dan dishohihkan oleh Syeikh
Al-Albani di kitab Shohih Jami no : 1301, 1/279 ).
Maka rasa takut kapada Allah, lawan dari menuruti
hawa nafsu, karena rasa takut mencegah perbuatan tersebut (menuruti hawa
nafsu). Sebagaimana firman Allah :
Artinya : "Dan adapun orang yang takut akan
kedudukan Robnya, dan mencegah dirinya dari hawa nafsu ".( Q.S. 79 ;40 )
Sikap sederhana diwaktu miskin dan kaya, lawan
dari rasa ambisi yang ditaati. Berkata benar diwaktu marah dan ridho, lawan
dari rasa takjub (bangga) seseorang dengan dirinya.
Apa yang dikatakan oleh As-Shiddiq sangat jelas,
karena sesungguhnya Allah berfirman : (aaikum anfusakum) artinya: pegang
teguhlah dan sibuklah dengan diri kalian. Dan termasuk dalam kemashlahatan
diri, mengerjakan apa yang diperintahkan kepadamu, baik perintah (yang harus
dikerjakan) atau larangan (yang harus ditinggalkan). Dan berfirman : Artinya : "Orang yang sesat tidak akan
membahayakanmu apabila kamu mendapat petunjuk (hidayat) " ( Q.S. 5;105 ).
Hidayah itu akan terwujud, bila Allah ditaati dan
kewajiban ditunaikan, baik berupa perintah atau larangan dan yang lainnya.
Di dalam ayat tersebut di atas, terdapat beberapa
faidah yang agung:
Pertama : Hendaknya seorang mukmin tidak
takut terhadap orang-orang kafir dan munafik, karena mereka itu tidak akan
membahayakannya, selama dia telah mendapat petunjuk.
Kedua : Janganlah dia bersedih dan gelisah
terhadap mereka, sebab kemaksiatan mereka tidak akan membahayakannya apabila
dia telah mendapat petunjuk. Sebab bersedih terhadap apa yang tidak
membahayakan merupakan hal yang sia-sia. Kedua makna ini disebutkan dalam
firman Allah :
Artinya : " Dan bersabarlah dan tiada
kesabaranmu kecuali dengan Allah, dan janganlah kamu bersedih terhadap mereka
dan janganlah kamu merasa sempit terhadap tipu daya yang mereka " ( Q.S.
16;127 ).
Ketiga : Hendaknya seorang mukmin tidak
cenderung kepada mereka dan tidak menujukan pandangannya (tertarik) kepada apa
yang mereka miliki dari kekuasaan, harta dan syahwat, seperti firman Allah :
Artinya : " Janganlah sekali-kali kamu
menujukan pandanganmu kepada kenimatan hidup yang telah Kami berikan kepada
beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu ) dan janganlah kamu
bersedih hati terhadap mereka ". (QS;15;88).
Maka Allah melarang Nabi Muhammad saw untuk
bersedih terhadap mereka dan mengharapkan apa yang mereka miliki disatu ayat,
dan melarangnya untuk bersedih serta takut kepada mereka di ayat yang lain.
Karena, kadang-kadang seseorang itu merasa sedih dan merasa takut kepada
mereka, baik disebabkan karena rasa harap atau rasa cemas.
Keempat : Janganlah melampaui batas yang
telah disyariatkan terhadap pelaku maksiat, dengan sikap berlebih-lebihan dalam
membenci dan menghina, atau melarang dan menghajr ( mengisolir ) atau
menghukumi mereka. Akan tetapi dikatakan kepada orang bersikap yang melampaui
batas terhadap mereka itu, " Uruslah dirimu sendiri, orang yang sesat
tidak akan memudoratkanmu, selama kamu telah mendapat petunjuk".
Sebagaimana firman Allah : Artinya : " Dan
janganlah sekali kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu "(Q.S:
5;8 ).
Dan firman Allah : Artinya : " Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu (tetapi) janganlah
kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang melampaui
batas" (QS:2;190)
Dan firman Allah : Artinya: "Jika
mereka berhenti (dari memusuhi kamu) maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali
terhadap orang-orang yang zalim". (QS:2;193).
Maka sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang
yang melakukan amar maruf nahi mungkar, kadang-kadang melampaui batas
ketentuan-ketentuan Allah, mungkin disebabkan kebodohan dan mungkin pula
disebabkan kezoliman. Permasalahan ini seseorang wajib tatsabbut ( selektif /
berhati-hati ) baik dalam mengingkari orang-orang kafir, munafik, fasiq atau
maksiat.
Kelima : Hendaklah dia melaksanakan amar
maruf nahi mungkar dalam batas yang disyariatkan yaitu berilmu, lemah-lembut,
sabar, dan niat yang baik serta menempuh jalan tengah (meletakkan sesuatu pada
tempatnya). Karena hal tersebut masuk di dalam firman Allah (alaikum anfusakum)
uruslah diri kamu dan di firman Allah (idza ihtadaitum) jika kamu mendapatkan
petunjuk.
Lima point ini disimpulkan dari ayat di atas,
bagi siapa yang diperintahkan untuk amar maruf dan nahi mungkar. Di dalam ayat
tersebut juga terdapat makna yang lain, yaitu; perhatian seseorang terhadap
mashlahat dirinya sendiri, dalam segi ilmu dan amal serta memalingkan dirinya
dari hal yang tidak bermanfaat, sebagaimana yang dikatakan oleh sohibus-syariah
( Rasulullah saw ):
Artinya : " Merupakan baiknya islam
seseorang meninggalkan apa yang tidak ia butuhkan" ( H.R. Ahmad di
Musnadnya dari Hasan bin Ali , dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani di Shohih Al
Jami no: 5911, juz : 2/1027 ).
Apa lagi banyaknya hal yang tidak penting, yang
tidak dibutuhkan oleh seseorang dari urusan agama orang lain dan dunianya,
terutama apabila pembicaraan tersebut karena hasad dan kedudukan
(kepemimpinan).
Begitu juga dalam beramal, mungkin orang yang
melaksanakannya melampaui batas dan zolim, atau bodoh dan berbaut sia-sia.
Alangkah banyaknya amalan yang digambarkan syeitan seakan-akan dia melakukan
amar maruf dan nahi mungkar serta jihad di jalan Allah, padahal sebenarnya
perbuatan tersebut merupakan kezoliman dan tindakkan yang berlebih-lebihan
(melampaui batas).
Oleh karena itu, merenungkan ayat tersebut di
dalam masalah ini, merupakan hal yang paling bermanfaat bagi seseorang. Apabila
anda memperhatikan perselisihan yang terjadi di kalangan umat ini ; ulama, ahli
ibadah, dan penguasa serta pemimpin mereka, anda akan menemukan, kebanyakan
termasuk dalam jenis ini, yaitu: kezoliman yang disebabkan karena takwil atau
bukan takwil.
Seperti orang Jahmiyah, zolim terhadap ahli
Sunnah dalam masalah sifat Allah dan Al quran ; seperti, bencana yang menimpa
Imam Ahmad dan lainnya. Seperti Rafidhoh (syiah) selalu zolim terhadap ahli
sunnah . Seperti Nashibah (orang membenci Ali) zolim terhadap Ali dan Ahli
baitnya (keluarga dan keturunannya). Seperti Musyabbih (orang yang mengatakan
sifat Allah seperti sifat makhluk) zolim terhadap munazzih (orang yang
mensucikan Allah dari sifat yang serupa dengan sifat makhluk). Seperti sebagian
Ahli sunnah kadang-kadang zolim, mungkin terhadap sebagian mereka, dan mungkin
terhadap sejenis ahli bidah, dengan melebihi apa yang telah diperintah Allah,
yaitu tindakan yang berlebih-lebihan, yang disebutkan dalam firman Allah :
Artinya : " Ya Robb kami ampunilah dosa-dosa
kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami.."
(Q.S. 3 : 147).
Di samping sikap melampaui batas (tindakan yang
berlebih-lebihan) ini,terdapat kelalaian yang dilakukan oleh yang lain terhadap
apa yang diperintahkan kepada mereka, dari kebenaran atau amar maruf dan nahi
mungkar dalam seluruh aspek. Alangkah baiknya apa yang dikatakan sebagian salaf:
" Tidaklah Allah memerintahkan suatu urusan, kecuali syeitan
menghalanginya dengan dua perkara : -dia tidak menghiraukan apapun dari dua
perkara itu yang akan dilakukannya- ghulu (berlebih-lebihan) dan takshir
(kelalaian).
Maka orang yang membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan sama dengan orang yang tidak membantu dalam perbuatan baik dan takwa. Orang yang melakukan yang diperintahkan dan melebihi (apa yang diperintahkan padahal itu) dilarang, sama dengan orang yang meninggalkan yang dilarang dan sebagian yang diperintahkan.
Maka orang yang membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan sama dengan orang yang tidak membantu dalam perbuatan baik dan takwa. Orang yang melakukan yang diperintahkan dan melebihi (apa yang diperintahkan padahal itu) dilarang, sama dengan orang yang meninggalkan yang dilarang dan sebagian yang diperintahkan.
Semoga Allah menunjuki kita kepada jalan yang
lurus. Tiada upuya dan kekuatan kecuali dengan Allah.
Sumber : Syaikh Islam Ibnu Taimiyah -Rahimuhullah-, Majmu Fatawa, Jilid 14 hal : 479 – 483, Alih Bahasa : Ustadz Muhammad Elvi Syam. L.c. MA
0 komentar:
Post a Comment