Jun 23, 2013

Nasehat Syeikh Bin Baz bagi istri tersayang
Pada waktu sahur di salah satu malam sepuluh terakhir ramadhan tahun 1408 dalam program Tanya jawab ( Nur ala darb), Syeikh Abdul Aziz bin Baz ditanya dengan satu pertanyaan, dimana pertanyaan itu datang dari penanya di kota  Bahah, ia berkata: saya memilik seorang istri dan dikaruniai beberapa anak dari dia, sementara jiwaku berkeinginan kuat untuk menikah lagi, setiap kali aku membicarakannya dengan istri ku akan keinginan saya ini , maka istri berubah sikap dengan saya dan dia mengancamku untuk pergi pulang kerumah orang tuanya dan meninggalkan anak-anaknya itu, apa nasehat syeikh untuk saya dan untuk istri saya wahai syeikh yang mulia?
Syeikh menjawab: “ takutlah kalian wahai hamba Allah perempuan (para istri) dalam hal itu (poligami), sesungguhnya menikah lagi adalah hak suami, istri tidak boleh menghalangi suaminya untuk menikah istri kedua, ketiga, dan keempat. Yang telah menyariatkan poligami itu adalah Allah dari atas langit ke tujuh, Dia mengatahui apa yang baik untuk kondisi laki-laki dan kondisi wanita, oleh karena itu Allah membolehkan dan menghalalkannya disebabkan (dalam poligami itu) terdapat kemaslahatan yang banyak untuk diri istri sendiri:
1).  terkadang suami orang yang pelit dan kikir, maka apabila ia menikah dengan istri kedua, maka Allah membukakan tangannya untuk memberi nafkah kepada istri pertama karena harus bersikap adil,
2). dan terkadang bermanfaat untuk suamimu, sehingga ia pun bisa berbuat baik kepada janda kematian suami, atau janda cerai atau perawan tua, maka dengan demikian anda akan mendapatkan pahala  disebabkan meridhoinya.
3). Dan terkadang Allah memberinya rezki  keturunan anak laki-laki dan perempuan dari pernikahannya itu, dimana pada masa depan tidak ada yang berbakti dan membantumu kecuali mereka itu.
4).  Boleh jadi suamimu tidak menyukai sebagian karakter dan tabiatmu, ketika ia sudah hidup dengan istri kedua, maka baru jelas baginya kelebihanmu ketika dia melihat kekurangan pada istri keduanya dalam beberapa sisi,  sehingga berubahlah penilaiannya kepadamu setelah mencoba istri selainmu.
5).Ada perkara yang sangat penting dari itu semua, yaitu kebencianmu terhadap pernikahan suamimu merupakan bahaya yang besar yang bisa menimpamu, yaitu Allah akan menghancurkan dan menggugurkan amal kebajikanmu disebabkan kebencian terhadap sebagian ajaran yang diturunkan Allah. Perintah berpoligami sangat jelas bisa dibaca dalam firman Allah :

 dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (HAK -hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (An-Nisa': 3)
Membenci apa yang telah Allah turunkan menyebabkan kehancuran amal kebajikan, Allah berfirman:

9. yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Quran) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka. (Surat Muhammad: 9)


Tidaklah mesti kebencian itu pada seluruh apa yang diturunkan Allah sehingga amal perbuatan itu gugur, malahan membenci satu ayat saja sudah cukup (acaman tergugurnya amal perbuatan)
Hukum shalat di dalam mesjid yang disampingnya ada kuburan
http://audio.islamweb.net/audio/images/arrow4.png
السؤال: يوجد لدينا مسجد تقام الصلاة فيه جماعة وجمعة؛ ولكن يوجد قبور حول المسجد في مقدمته ومؤخرته، والفرق بين المسجد والقبور نحو ستة أمتار فقط، علماً أن المسجد بُني قبل وضع القبور، فهل تصح الصلاة في هذا المسجد؟
Pertanyaan: kami memiliki satu mesjid tempat mengerjakan shalat berjamaah dan shalat jum’at akan tetapi di sekitar mesjid itu terdapat kuburan; di depan dan di belakangnya. Jarak antara mesjid dengan kuburan sekitar enam meter saja, sebagai informasi, mesjid itu sudah didirikan sebelum kuburan, apakah shalat di mesjid itu sah.?
الجواب: نعم، تصح الصلاة فيه، ولو كان حوله قبور، إذا كان المسجد قائماً، ووُضعت حوله القبور عن يمينه أو شماله أو أمامه أو خلفه هذا لا يضر، وقد كان الناس فيما مضى يدفنون حول البلاد من الخوف والفتن والحروب، كانوا يدفنون حول مساجدهم، يخرج المسجد ويدفن حول المسجد. أما الآن فقد وسع الله ويسَّر، فينبغي إبعادها عن المساجد؛ حتى لو دعت الحاجة إلى توسيع المسجد وُسِّع المسجد، وحتى لا يظن جاهل أن للدفن جوار المساجد سراً أو قصداً. فينبغي أن تكون المقابر بعيدة عن المساجد حتى لا يظن ظان خلاف الحق، أو حتى لا تدعو الحاجة إلى التوسعة، فيكون وجود القبور مانعاً من ذلك، أو داعياً إلى نبشها ونقلها مرة أخرى.
Jawabnya: ya, shalat di mesjid itu sah, walaupun di sekitarnya ada kuburan. Jika mesjid itu sudah didirikan, dan dibuat kuburan di sekitar mesjid, baik di sebelah kanan, kiri, depan atau belakang, ini tidak apa-apa. Sungguh manusia dulu dikuburkan disekitar kampung, karena kondisi takut, fitnah (kekacauan) atau perang, mereka dikuburkan di sekitar mesjid mereka, keluar mesjid dan dikuburkan sekitar mesjid. Adapun sekarang, Allah telah memberikan kelapangan dan kemudahan, seyokyanya menjauhkan kuburan dari mesjid, sehingga jika diperlukan untuk memperluas mesjid maka (dengan mudah) bisa diperluas mesjid itu, dan agar orang jahil (bodoh dengan agamanya) tidak mengira bahwa menguburkan di sekitar kuburan ada rahasia dan maksud tujuan (ada keutamaannya), maka seyokyanya kuburan itu terletak jauh dari mesjid, agar seseorang tidak mengira (bermacam-macam yang) berlawanan dengan kebenaran, atau tidak memerlukan kepada perluasan mesjid, sehingga keberadaan kuburan itu menghalangi untuk perluasan mesjid, atau terpaksa membongkar kuburan itu dan dipindahkan kembali (ke tempat lain).
المقصود أن القبور التي حول المساجد لا تمنع من الصلاة في المساجد، إنما المحرم أن تُبنى المساجد على القبور، وأن تتخذ القبور مساجد، هذا هو الذي نهى عنه النبي صلى الله عليه وسلم، يقول صلى الله عليه وسلم: (لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد)، ويقول صلى الله عليه وسلم: (ألا وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد، ألا فلا تتخذوا القبور مساجد، فإني أنهاكم عن ذلك). فلا يجوز أن يُبنى على القبور مساجد، ولا يُصلى حولها، ولا بينها، ولا يدفن الميت في المسجد، كل هذا لا يجوز، يجب أن تُدفن الموتى بعيداً عن المساجد، وألا تقام المساجد على القبور، هكذا نهى الرسول صلى الله عليه وسلم عن ذلك؛ ولكن متى وجد قبور جوار المسجد لم تمنع من الصلاة فيه.
Maksudnya, kuburan yang  ada di sekitar mesjid tidak menghalangi untuk mengerjakan shalat di mesjid itu, akan tetapi yang diharamkan itu adalah mendirikan mesjid itu di atas kuburan, atau kuburan itu dijadikan sebagai mesjid, inilah yang dilarang oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Allah melaknat orang yahudi dan nasrani, dimana mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai mesjid”, beliau bersabda: “Ketahuilah sesungguhnya orang sebelum kamu menjadikan kuburan para nabi mereka dan orang yang shaleh dari mereka sebagai mesjid, ketahuilah janganlah kalian menjadikan kuburan itu sebagai mesjid, sesungguhnya aku melarang kalian dari itu” maka tidak boleh mendirikan mesjid di atas kuburan, dan tidak boleh shalat di sekitar kuburan dan tidak juga antara kuburan, dan tidak boleh menguburkan mayat di dalam mesjid, semua ini tidak boleh dikerjakan. Dan mayat wajib dikuburkan jauh dari mesjid, dan janganlah mendirikan mesjid di atas kuburan. Beginilah Rasulullah melarang dari hal itu, akan tatapi kapan saja ditemukan kuburan di sekitar mesjid, hal itu tidak menghalangi mengerjakan shalat di dalam mesjid itu.
(fatwa syekh bin Baz rahimahullah setelah ceramah dengan judul “مراحل الشباب أهم مراحل العمر “ “Fase muda adalah fase umur yang terpenting” bahasa arabnya bisa dilihat di :
Diterjemahkan oleh : Muhammad Elvi Syam, padang, sabtu 15 Juni 2013.

ﻓﻲ ﺗﺮﺟﻤﺔ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﻗَـﺎﺳﻢ - احد اهل العلم باليمن - قال العلامة الشوكاني المتوفى 1255 رحمه الله قال : 
"ﻭﻣﻦ ﻣﺤﺎﺳﻦ ﻛﻼ‌ﻣﻪ ﺍﻟﺬﻱ ﺳﻤﻌﺘﻪ ﻣﻨﻪ: ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﻃﺒﻘﺎﺕ ﺛﻼ‌ﺙ:
Dalam biografi ali bin Qasim –salah seorang ulama di Yaman- Imam Syaukani ( w.1255H)rahimahullah berkata: “ diantara perkataan beliau (Ali bin Qasim) yang indah yang aku dengar : manusia itu ada tiga tingkatan:

ﻓﺎﻟﻄﺒﻘﺔ ﺍﻟﻌﺎﻟﻴﺔ: ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺍﻷ‌ﻛﺎﺑﺮ ﻭﻫﻢ ﻳﻌﺮﻓﻮﻥ ﺍﻟﺤﻖ ﻭﺍﻟﺒﺎﻃﻞ، ﻭﺇﻥ ﺍﺧﺘﻠﻔﻮﺍ ﻟﻢ ﻳﻨﺸﺄ ﻋﻦ ﺍﺧﺘﻼ‌ﻓﻬﻢ ﺍﻟﻔﺘﻦ ﻟﻌﻠﻤﻬﻢ ﺑﻤﺎ ﻋﻨﺪ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺑﻌﻀﺎ.
Tingkat yang tinggi: Ulama senior, mereka itu adalah orang yang mengetahui kebenaran dan kebatilan, jika mereka berbeda pendapat, maka fitnah tidak muncul dari perbedaan mereka itu, dikarenakan ilmu (pengetahuan) mereka terhadap apa yang dimiliki oleh sebagian yang lain. (berilmu terhadap dalil dan kelebihan ulama lain sehingga muncul saling menghargai)
ﻭﺍﻟﻄﺒﻘﺔ ﺍﻟﺴﺎﻓﻠﺔ: ﻋﺎﻣﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﻄﺮﺓ ﻻ‌ ﻳﻨﻔﺮﻭﻥ ﻋﻦ ﺍﻟﺤﻖ ﻭﻫﻢ ﺃﺗﺒﺎﻉ ﻣﻦ ﻳﻘﺘﺪﻭﻥ ﺑﻪ، ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﺤﻘﺎ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻣﺜﻠﻪ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﺒﻄﻼ‌ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻛﺬﻟﻚ.
Tingkat yang rendah : kebanyaknya (masyarakat) yang berada di atas fitrah yang mereka tidak lari dari kebenaran, mereka pengikut orang yang mereka jadikan sebagai panutan, jika orang yang diikuti itu diatas kebenaran, maka mereka seperti orang itu, jika dia orang yang diatas kebatilan, maka mereka pun seperti itu.

ﻭﺍﻟﻄﺒﻘﺔ ﺍﻟﻤﺘﻮﺳﻄﺔ: ﻫﻲ ﻣﻨﺸﺄ ﺍﻟﺸﺮ ﻭﺃﺻﻞ ﺍﻟﻔﺘﻦ ﺍﻟﻨﺎﺷﺌﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﻫﻢ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻟﻢ ﻳﻤﻌﻨﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺣﺘﻰ ﻳﺮﺗﻘﻮﺍ ﺇﻟﻰ ﺭﺗﺒﺔ ﺍﻟﻄﺒﻘﺔ ﺍﻷ‌ﻭﻟﻰ ﻭﻻ‌ ﺗﺮﻛﻮﺍ ﺣﺘﻰ ﻳﻜﻮﻧﻮﺍ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻄﺒﻘﺔ ﺍﻟﺴﺎﻓﻠﺔ ، ﻓﺈﻧﻬﻢ ﺇﺫﺍ ﺭﺃﻭﺍ ﺃﺣﺪﺍ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻄﺒﻘﺔ ﺍﻟﻌﻠﻴﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﻣﺎﻻ‌ ﻳﻌﺮﻓﻮﻧﻪ ﻣﻤﺎ ﻳﺨﺎﻟﻒ ﻋﻘﺎﺋﺪﻫﻢ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﻭﻗﻌﻬﻢ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﻘﺼﻮﺭ ﻓﻮﻗﻮﺍ (وجهوا ) ﺇﻟﻴﻪ ﺳﻬﺎﻡ ﺍﻟﺘﻘﺮﻳﻊ ﻭﻧﺴﺒﻮﻩ ﺇﻟﻰ ﻛﻞ ﻗﻮﻝ ﺷﻨﻴﻊ ﻭﻏﻴﺮﻭﺍ ﻓﻄﺮ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻄﺒﻘﺔ ﺍﻟﺴﻔﻠﻰ ﻋﻦ ﻗﺒﻮﻝ ﺍﻟﺤﻖ ﺑﺘﻤﻮﻳﻬﺎﺕ ﺑﺎﻃﻠﺔ ﻓﻌﻨﺪ ﺫﻟﻚ ﺗﻘﻮﻡ ﺍﻟﻔﺘﻦ ﺍﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﺳﺎﻕ". 
Tingkat menengah: tingkat ini adalah sumber keburukan, dan sumber fitnah yang lahir dalam agama, mereka adalah orang yang belum mendalami ilmu yang bisa mengangkatnya ke tingkat pertama, dan tidak juga meninggalkan ilmu sehingga dia digolongkan ke tingkat yang rendah, maka mereka ini jika melihat seorang dari tingkat yang tinggi (ulama) mengatakan apa yang tidak mereka ketahui yang menyelisihi keyakinan mereka yang disebabkan oleh kelalaian dan kekurangan mereka, merekapun mengarahkan anak panah celaan atau teguran keras kepada ulama itu, dan mereka berikan kepada ulama itu seluruh ungkapan yang keji, dan mereka merubah fitrah orang yang berada pada tingkat rendah dari menerima kebenaran dengan lapisan-lapisan yang batil, maka pada saat itu berkobarlah fitnah dalam agama dengan seru.”
فيا لغربة الزمان وكثرت الفتن على اهل الايمان
فلنبك كما بكى العلامة صالح الفوزان
Aduhai keterasingan zaman dan banyaknya fitnah terhadap orang yang beriman

Hendaklah kita menangis sebagaimana syeikh Sholeh al-Fauzan menangis.

Jun 17, 2013



Allah Taala yang Maha Tinggi dan Maha Besar berfirman: Artinya:"Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiada orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk". ( Q.S: 5;105 ),
Ayat ini tidak bermakna larangan atau perintah untuk meninggalkan amar maruf (kebaikan) dan nahi mungkar (kejelekan), sebagaimana yang terdapat dalam hadits masyhur di Kutubus Sunan, dari Abu Bakr As-Shidiq, (Ia) berkhutbah di atas mimbar Rasulullah saw dan berkata : " Wahai manusia sesungguhnya kalian membaca ayat ini dan menerapkannya bukan pada tempatnya, sungguh saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda :
Artinya : " Sesungguhnya manusia apabila melihat kemungkaran, kemudian tidak merubahnya, maka hampir-hampir Allah menimpakan azab dari-Nya kepada mereka semua". (H.R. Ahmad dimusnadnya dari Abi Bakr, dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani di kitab Shohih Al Jami , no: 1974, juz; 1/ 398.)
Dan demikian juga dalam hadits Abi Tsalabah Al-Khusyani yang marfu (yang sampai ke Rasulullah ) dalam menafsirkan ayat ini :
Artinya:" Apabila kamu melihat kebakhilan yang ditaati, dan hawa nafsu yang dituruti, dan setiap orang yang memiliki pendapat taajub dengan pendapatnya,maka uruslah (sibuklah) dengan kepentingan dirimu sendiri" ( H.R. Tirmizi dari Abi salabah Al Khusyani, no 3058 ).
Hadits ini ditafsirkan oleh hadits Abi Said di kitab Muslim :
Artinya: "Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran maka hendaklah dia merubah kemungkaran tersebut dengan tangannya, apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan lisannya, apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan hatinya, yang demikian adalah selemah-lemah keimanan ". (H.R. Muslim dan lainnya dari Abi Said Al Khudri.)
Dan apabila ahli fujur (pelaku maksiat) kuat, sehingga mereka tidak lagi mau mendengarkan kebaikan, bahkan mereka menyakiti orang yang melarang kemungkaran, karena mereka itu telah dikuasai oleh rasa kikir dan hawa nafsu serta rasa sombong, maka pada keadaan seperti ini, merubah dengan lisanpun gugur dan yang tinggal merubah dengan hati.(assyuhhu) adalah rasa sangat ambisi yang mengakibatkan kepada kebakhilan dan kezoliman, yaitu menolak kebaikan dan membencinya. (alhawa al muttaba) hawa nafsu yang dituruti terwujud dalam keinginan terhadap keburukan dan mencintainya. (al ijab bir rayi) takjub (bangga) dengan pendapat sendiri yaitu (bangga) pada akal dan ilmu.
Maka (pada hadits di atas) Beliau saw telah menyebutkan rusak tiga kekuatan yaitu : ilmu, cinta dan benci. Sebagaimana dalam hadits lain : Artinya : " Tiga hal yang mencelakakan; rasa kikir yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti dan rasa takjub seseorang dengan dirinya sendiri" dan di hadapan tiga hal yang mencelakakan ini, terdapat tiga hal yang menyelamatkan :
Artinya: " Rasa takut kepada Allah dalam keadaan sunyi dan keramaian, dan sikap sederhana di waktu miskin dan kaya dan berkata benar di waktu marah dan ridho " ( H.R. Tharoni di Mujam Ausath dari Anas dan dihasankan oleh Syeikh Al Albani di kitab Shohih Al-Jami, no : 3039, juz ; 1/ 583 )
Itulah yang selalu dimohon Rasulullah r dalam doanya, seperti pada hadits lain : Artinya : " Ya Allah, sesungguhnya saya memohon kepada-Mu rasa takutan akan diri-Mu di waktu sunyi dan keramaian, dan saya memohon kepada-Mu untuk (mampu) berkata benar di waktu marah dan ridho, dan saya memohon kepada-Mu untuk sikap sederhana di waktu miskin dan kaya" ( H.R. Nasai dari Amar bin Yasir, no: 1304 dan dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani di kitab Shohih Jami no : 1301, 1/279 ).
Maka rasa takut kapada Allah, lawan dari menuruti hawa nafsu, karena rasa takut mencegah perbuatan tersebut (menuruti hawa nafsu). Sebagaimana firman Allah :
Artinya : "Dan adapun orang yang takut akan kedudukan Robnya, dan mencegah dirinya dari hawa nafsu ".( Q.S. 79 ;40 )
Sikap sederhana diwaktu miskin dan kaya, lawan dari rasa ambisi yang ditaati. Berkata benar diwaktu marah dan ridho, lawan dari rasa takjub (bangga) seseorang dengan dirinya.
Apa yang dikatakan oleh As-Shiddiq sangat jelas, karena sesungguhnya Allah berfirman : (aaikum anfusakum) artinya: pegang teguhlah dan sibuklah dengan diri kalian. Dan termasuk dalam kemashlahatan diri, mengerjakan apa yang diperintahkan kepadamu, baik perintah (yang harus dikerjakan) atau larangan (yang harus ditinggalkan). Dan berfirman :  Artinya : "Orang yang sesat tidak akan membahayakanmu apabila kamu mendapat petunjuk (hidayat) " ( Q.S. 5;105 ).
Hidayah itu akan terwujud, bila Allah ditaati dan kewajiban ditunaikan, baik berupa perintah atau larangan dan yang lainnya.
Di dalam ayat tersebut di atas, terdapat beberapa faidah yang agung:
Pertama : Hendaknya seorang mukmin tidak takut terhadap orang-orang kafir dan munafik, karena mereka itu tidak akan membahayakannya, selama dia telah mendapat petunjuk.
Kedua : Janganlah dia bersedih dan gelisah terhadap mereka, sebab kemaksiatan mereka tidak akan membahayakannya apabila dia telah mendapat petunjuk. Sebab bersedih terhadap apa yang tidak membahayakan merupakan hal yang sia-sia. Kedua makna ini disebutkan dalam firman Allah :
Artinya : " Dan bersabarlah dan tiada kesabaranmu kecuali dengan Allah, dan janganlah kamu bersedih terhadap mereka dan janganlah kamu merasa sempit terhadap tipu daya yang mereka " ( Q.S. 16;127 ).
Ketiga : Hendaknya seorang mukmin tidak cenderung kepada mereka dan tidak menujukan pandangannya (tertarik) kepada apa yang mereka miliki dari kekuasaan, harta dan syahwat, seperti firman Allah :
Artinya : " Janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada kenimatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu ) dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka ". (QS;15;88).
Maka Allah melarang Nabi Muhammad saw untuk bersedih terhadap mereka dan mengharapkan apa yang mereka miliki disatu ayat, dan melarangnya untuk bersedih serta takut kepada mereka di ayat yang lain. Karena, kadang-kadang seseorang itu merasa sedih dan merasa takut kepada mereka, baik disebabkan karena rasa harap atau rasa cemas.
Keempat : Janganlah melampaui batas yang telah disyariatkan terhadap pelaku maksiat, dengan sikap berlebih-lebihan dalam membenci dan menghina, atau melarang dan menghajr ( mengisolir ) atau menghukumi mereka. Akan tetapi dikatakan kepada orang bersikap yang melampaui batas terhadap mereka itu, " Uruslah dirimu sendiri, orang yang sesat tidak akan memudoratkanmu, selama kamu telah mendapat petunjuk".
Sebagaimana firman Allah : Artinya : " Dan janganlah sekali kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu "(Q.S: 5;8 ).
Dan firman Allah : Artinya : " Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang melampaui batas" (QS:2;190)
Dan firman Allah :  Artinya: "Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu) maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim". (QS:2;193).
Maka sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang melakukan amar maruf nahi mungkar, kadang-kadang melampaui batas ketentuan-ketentuan Allah, mungkin disebabkan kebodohan dan mungkin pula disebabkan kezoliman. Permasalahan ini seseorang wajib tatsabbut ( selektif / berhati-hati ) baik dalam mengingkari orang-orang kafir, munafik, fasiq atau maksiat.
Kelima : Hendaklah dia melaksanakan amar maruf nahi mungkar dalam batas yang disyariatkan yaitu berilmu, lemah-lembut, sabar, dan niat yang baik serta menempuh jalan tengah (meletakkan sesuatu pada tempatnya). Karena hal tersebut masuk di dalam firman Allah (alaikum anfusakum) uruslah diri kamu dan di firman Allah (idza ihtadaitum) jika kamu mendapatkan petunjuk.
Lima point ini disimpulkan dari ayat di atas, bagi siapa yang diperintahkan untuk amar maruf dan nahi mungkar. Di dalam ayat tersebut juga terdapat makna yang lain, yaitu; perhatian seseorang terhadap mashlahat dirinya sendiri, dalam segi ilmu dan amal serta memalingkan dirinya dari hal yang tidak bermanfaat, sebagaimana yang dikatakan oleh sohibus-syariah ( Rasulullah saw ):
Artinya : " Merupakan baiknya islam seseorang meninggalkan apa yang tidak ia butuhkan" ( H.R. Ahmad di Musnadnya dari Hasan bin Ali , dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani di Shohih Al Jami no: 5911, juz : 2/1027 ).
Apa lagi banyaknya hal yang tidak penting, yang tidak dibutuhkan oleh seseorang dari urusan agama orang lain dan dunianya, terutama apabila pembicaraan tersebut karena hasad dan kedudukan (kepemimpinan).
Begitu juga dalam beramal, mungkin orang yang melaksanakannya melampaui batas dan zolim, atau bodoh dan berbaut sia-sia. Alangkah banyaknya amalan yang digambarkan syeitan seakan-akan dia melakukan amar maruf dan nahi mungkar serta jihad di jalan Allah, padahal sebenarnya perbuatan tersebut merupakan kezoliman dan tindakkan yang berlebih-lebihan (melampaui batas).
Oleh karena itu, merenungkan ayat tersebut di dalam masalah ini, merupakan hal yang paling bermanfaat bagi seseorang. Apabila anda memperhatikan perselisihan yang terjadi di kalangan umat ini ; ulama, ahli ibadah, dan penguasa serta pemimpin mereka, anda akan menemukan, kebanyakan termasuk dalam jenis ini, yaitu: kezoliman yang disebabkan karena takwil atau bukan takwil.
Seperti orang Jahmiyah, zolim terhadap ahli Sunnah dalam masalah sifat Allah dan Al quran ; seperti, bencana yang menimpa Imam Ahmad dan lainnya. Seperti Rafidhoh (syiah) selalu zolim terhadap ahli sunnah . Seperti Nashibah (orang membenci Ali) zolim terhadap Ali dan Ahli baitnya (keluarga dan keturunannya). Seperti Musyabbih (orang yang mengatakan sifat Allah seperti sifat makhluk) zolim terhadap munazzih (orang yang mensucikan Allah dari sifat yang serupa dengan sifat makhluk). Seperti sebagian Ahli sunnah kadang-kadang zolim, mungkin terhadap sebagian mereka, dan mungkin terhadap sejenis ahli bidah, dengan melebihi apa yang telah diperintah Allah, yaitu tindakan yang berlebih-lebihan, yang disebutkan dalam firman Allah :
Artinya : " Ya Robb kami ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami.." (Q.S. 3 : 147).
Di samping sikap melampaui batas (tindakan yang berlebih-lebihan) ini,terdapat kelalaian yang dilakukan oleh yang lain terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka, dari kebenaran atau amar maruf dan nahi mungkar dalam seluruh aspek. Alangkah baiknya apa yang dikatakan sebagian salaf: " Tidaklah Allah memerintahkan suatu urusan, kecuali syeitan menghalanginya dengan dua perkara : -dia tidak menghiraukan apapun dari dua perkara itu yang akan dilakukannya- ghulu (berlebih-lebihan) dan takshir (kelalaian).

Maka orang yang membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan sama dengan orang yang tidak membantu dalam perbuatan baik dan takwa. Orang yang melakukan yang diperintahkan dan melebihi (apa yang diperintahkan padahal itu) dilarang, sama dengan orang yang meninggalkan yang dilarang dan sebagian yang diperintahkan.
Semoga Allah menunjuki kita kepada jalan yang lurus. Tiada upuya dan kekuatan kecuali dengan Allah.

Sumber : Syaikh Islam Ibnu Taimiyah -Rahimuhullah-, Majmu Fatawa, Jilid 14 hal : 479 – 483, Alih Bahasa : Ustadz Muhammad Elvi Syam. L.c. MA

Jun 16, 2013

wanita

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum.
Yang ingin saya tanyakan:
Bagaimana menjaga hati ini agar tidak mudah terjerumus kepada hawa nafsu terutama pada wanita dan mengenai pandangan mata serta cara mengatasi naik turunnya iman.
Wassalam
Bandung, 28 Mei 2002


Jawaban:
Wa’alaikum salam warahmatullah wa barakatuh.
Alhamdulillah, wasshalaatu wassalaamu ‘alaa rasulillah wa ba’du :
Obat yang paling manjur dalam masalah ini adalah apa yang telah disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Wahai para sekalian pemuda, Barangsiapa di antara kalian mempunyai kemampuan (untuk memberikan nafkah), maka menikahlah, karena nikah itu lebih menutup pandangan, dan lebih menjaga kemaluan, dan barangsiapa tidak mampu, maka berpuasalah, karena puasa itu baginya menjadi sebagai prisai (mengurangi syahwatnya).” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Kemudian selalulah kita ingat kepada Allah, bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat atas segala perbuatan hamba-Nya. Selalulah kita berteman dengan teman-teman yang baik dan shaleh, yang bisa mengingatkan kita saat kita lengah dan jauh dari Allah, sibukkan diri kita dengan hal-hal yang bermanfaat, dan jauhkan diri dari hal yang menggoda dan mendorong syahwat. Semoga Allah memberikan kepada kita ketaguhan hati dalam ketaatan-Nya.
Dijawab oleh : Ustadz Muhammad Elvi Syam, Lc. MA

Jun 15, 2013

 
BAB TERMASUK SYIRIK
JIKA BERAMAL SHALEH UNTUK TUJUAN DUNIA
“Pembahasan Kitab At-Tauhid”
Oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab
Bersama : Ust. Muhammad Elvi Syam, Lc. Ma
(Kajian Rutin Ahad Pagi, 3 Safar 1434 H/16 Desember 2012 M,
 di Masjid Baitul Ihsan Sawahan Dalam III Padang)
PENDAHULUAN
Segala puji bagi Robb semesta alam yang telah menunjuki kita semua kepada cahaya Islam dan sekali-kali kita tak akan mendapat petunjuk jika Allah tidak memberi kita petunjuk, kita mohon kepada-Nya agar kita senantiasa di tetapkan di atas hidayah-Nya sampai akhir hayat sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu Wata’ala :
]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ [ (102) سورة آل عمران
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali dalam keadaan Islam ( surat Ali Imran : 102)
Dan semoga shalawat serta salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi kita, suri tauladan dan kekasih kita, Rasulullah r, yang telah diutus sebagai rahmat bagi alam semesta. Wa ba’du.
MATAN
Terjamah :
 Dalil 1 : Surat Hud 15-16
 Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.”

Dalil 2 : H.R Bukhari, no. 2886, 2887
 Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celaka hamba dinar, celaka hamba dirham, celaka hamba khomishoh, celaka hamba khomilah , jika diberi ia senang, dan jika tidak diberi ia marah, celakalah ia dan tersungkurlah ia, apabila terkena duri semoga tidak bisa mencabutnya, berbahagialah seorang hamba yang memacu kudanya ( berjihad di jalan Allah ), dengan kusut rambutnya, dan berdebu kedua kakinya, bila ia ditugaskan sebagai penjaga, dia setia berada di pos penjagaan, dan bila ditugaskan digaris belakang, dia akan tetap setia digaris belakang, jika ia minta izin (untuk menemui raja atau penguasa) tidak diperkenankan, dan jika bertindak sebagai pemberi syafaat ( sebagai perantara ) maka tidak diterima syafaatnya (perantaraannya)”.
Kandungan Bab :
  1. Motivasi seseorang dalam amal ibadahnya, yang semestinya untuk akhirat malah untuk kepentingan duniawi [termasuk syirik dan menjadikan pekerjaan itu sia-sia tidak diterima oleh Allah
  2. Penjelasan tentang ayat dalam surat Hud
  3. Manusia muslim disebut sebagai hamba dinar, hamba dirham, hamba khamishah dan khamilah jika menjadikan kesenangan duniawi sebagai tujuan].
  4. Tandanya apabila diberi ia senang, dan apabila tidak diberi ia marah.
  5. Rasulullah _ mendo’akan : “ celakalah dan tersungkurlah”.
  6. Juga mendoakan : “jika terkena duri semoga ia tidak bisa mencabutnya”.
  7. Pujian dan sanjungan untuk mujahid yang memiliki sifat sifat sebagaimana yang disebut dalam hadits.

Pembahasan
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyebutkan salah satu bab dalam Kitabut Tauhid, “Termasuk kesyirikan, seorang yang beramal karena dunia”, kemudian beliau menyebutkan firman Allah Ta’ala dalam Surat Hud : 15-16.
Sering kita lihat pada umat Islam saat ini. Mereka memang gemar melakukan puasa sunnah (yaitu puasa Senin-Kamis dan lainnya), namun semata-mata hanya untuk menyehatkan badan sebagaimana saran dari beberapa kalangan. Ada juga yang gemar sekali bersedekah, namun dengan tujuan untuk memperlancar rizki dan karir. Begitu pula ada yang rajin bangun di tengah malam untuk bertahajud, namun tujuannya hanyalah ingin menguatkan badan. Semua yang dilakukan memang suatu amalan yang baik. Tetapi niat di dalam hati senyatanya tidak ikhlash karena Allah, namun hanya ingin mendapatkan tujuan-tujuan duniawi semata. Kalau memang demikian, mereka bisa termasuk orang-orang yang tercela sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas.
Dunia, mungkin saja mereka peroleh. Dengan banyak melakukan amalan sholeh, boleh jadi seseorang akan bertambah sehat, rizki semakin lancar dan karir terus meningkat. Dan itu senyatanya yang mereka peroleh dan Allah pun tidak akan mengurangi hal tersebut sesuai yang Dia tetapkan. Namun apa yang mereka peroleh di akhirat?
Sungguh betapa banyak orang yang melaksanakan shalat malam, puasa sunnah dan banyak sedekah, namun itu semua dilakukan hanya bertujuan untuk menggapai kekayaan dunia, memperlancar rizki, umur panjang, dan lain sebagainya.
Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhu- menafsirkan surat Hud ayat 15-16. Beliau –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya orang yang riya’, mereka hanya ingin memperoleh balasan kebaikan yang telah mereka lakukan, namun mereka minta segera dibalas di dunia.”
Ibnu ‘Abbas juga mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan amalan puasa, shalat atau shalat malam namun hanya ingin mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah: “Allah akan memberikan baginya dunia yang dia cari-cari. Namun amalannya akan sia-sia (lenyap) di akhirat nanti karena mereka hanya ingin mencari dunia. Di akhirat, mereka juga akan termasuk orang-orang yang merugi”.
Qotadah mengatakan, “Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari dengan amalan sholehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlash dalam beribadah (yang hanya ingin mengharapkan wajah Allah), dia akan mendapatkan balasan di dunia juga dia akan mendapatkan balasan di akhirat.”
 Tanda Seseorang Beramal Untuk Tujuan Dunia
Imam Bukhari membawakan hadits dalam Bab “Siapa yang menjaga diri dari fitnah harta”.
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Celakalah hamba dinar, dirham, qothifah dan khomishoh. Jika diberi, dia pun ridho. Namun jika tidak diberi, dia tidak ridho, dia akan celaka dan akan kembali binasa.” (HR. Bukhari).
Kenapa dinamakan hamba dinar, dirham dan pakaian yang mewah? Karena mereka yang disebutkan dalam hadits tersebut beramal untuk menggapai harta-harta tadi, bukan untuk mengharap wajah Allah. Demikianlah sehingga mereka disebut hamba dinar, dirham dan seterusnya. Adapun orang yang beramal karena ingin mengharap wajah Allah semata, mereka itulah yang disebut hamba Allah (sejati).
Di antara tanda bahwa mereka beramal untuk menggapai harta-harta tadi atau ingin menggapai dunia disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya: “Jika diberi, dia pun ridho. Namun jika tidak diberi, dia pun tidak ridho (murka), dia akan celaka dan kembali binasa”
Lalu, bagaimana membedakan tauhid dengan syirik besar dan syirik kecil dalam niat?
Niat seseorang ketika beramal ada beberapa macam:
Pertama, Jika niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama sekali tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat
Maka orang semacam ini di akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu diketahui pula bahwa amalan semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin walaupun lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat.

Kedua, Jika niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati
Maka semacam ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.

Ketiga, Adapun jika seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil untuk membantunya dalam beramal

Semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang mendapatkan upah dari negara setiap bulannya, maka tidak mengapa mengambil upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan beragama.

Adapun amalan yang seseorang lakukan untuk mendapatkan balasan dunia ada dua macam:
Pertama, Amalan yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia.
Maka semacam ini tidak diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan. Misalnya: Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa pasti dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud akan mendapatkan anak laki-laki.

Kedua, Amalan yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan berbakti kepada kedua orang tua.
Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan dunia saja dan tidak mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus, juga dia melakukannya dengan ikhlash, maka ini tidak mengapa dan balasan dunia adalah sebagai tambahan nikmat untuknya karena syari’at telah menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan ini.

Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang belajar di universitas atau di tempat lainnya untuk meraih ijazah atau gelar?
Termasuk perbuatan syirik jika mereka tidak meniatkannya untuk meraih tujuan-tujuan yang syar’i. Maka kami katakan kepada mereka, “Jangan kalian niatkan hal tersebut untuk meraih kedudukan duniawi, tapi niatkan ijazah-ijazah tersebut sebagai sarana untuk bisa bekerja dalam bidang-bidang yang bisa memberi manfaat untuk sesama”, karena untuk bekerja di masa sekarang ini (pada umumnya) dipersyaratkan adanya ijazah, sedang mereka tidak bisa memberi manfaat kepada yang lainnya kecuali dengan sarana ini. Maka dengan itu niat menjadi selamat (dari syirik).”

Dan, bagaimana dengan seorang mujahid yang berperang dan mendapatkanghanimah atau seorang ustadz yang mengajar dan mendapat gaji?
Adapun orang yang beramal hanya karena Allah saja dan senantiasa menyempurnakan keikhlasannya, akan tetapi ia masih mengambil upah yang telah ditetapkan atas amalannya, yang dengan upah tersebut ia bekerja (untuk dunia) dan agama, seperti upah para pekerja sosial, mujahid yang mendapatkan ghanimah atau rezeki (gaji), pengelola masjid, pengajar sekolah dan berbagai macam kegiatan agama lainnya. Jika seseorang mengambil upah tersebut maka tidaklah berdampak pada iman dan tauhidnya, karena ia tidak bermaksud untuk mencari dunia dalam amalannya. Akan tetapi ia niatkan untuk agama, dan upah yang ia hasilkan pun diniatkan untuk tegaknya agama.”
Wallahu a’lam Wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihii wa shahbihi wa sallam.

DOWNLOAD
REKAMAN KAJIAN
Oleh :
Kajian Rutin Ahad Pagi, 25 Muharram 1434 H/9 Desember 2012 M, Di Masjid Baitul Ihsan Sawahan Dalam III Padang

>> Artikel Dareliman.Or.Id dipublish ulang oleh Suluah Minang